Donald Trump kembali memainkan kartu tarifnya, dan dunia pun bergetar. Dalam seminggu yang penuh gejolak, mantan Presiden AS ini menandatangani serangkaian kesepakatan dagang dengan Jepang, Filipina, dan Indonesia yang bukan hanya memuat tarif impor tinggi, tetapi juga janji investasi raksasa.
Namun di balik panggung diplomasi ini, ancaman retaliasi besar dari Uni Eropa (UE) makin menguat.
Jika tidak ada kesepakatan dagang antara AS dan UE sebelum 1 Agustus, blok ekonomi terbesar kedua di dunia ini siap mengenakan tarif 30% terhadap barang-barang AS senilai lebih dari $100 miliar.
Isinya? Mulai dari whiskey dan mobil hingga pesawat Boeing. Sinyal perlawanan serius terhadap kebijakan perdagangan sepihak Trump.
Jepang “Bersedia Bayar”, UE “Bersiap Lawan”
Trump mengklaim telah menandatangani “kesepakatan terbesar dalam sejarah dengan Jepang” termasuk tarif 15% atas barang-barang Jepang yang masuk ke AS. Sebagai gantinya, Jepang akan berinvestasi $550 miliar ke dalam perekonomian Amerika Serikat.
Meski belum ada rincian spesifik, angka tersebut disebut-sebut mencakup sektor manufaktur dan teknologi tinggi.
Sebaliknya, Uni Eropa memilih jalur keras. Menurut laporan Bloomberg, Komisi Eropa akan menggabungkan $24 miliar tarif yang sudah disetujui dengan daftar baru senilai $83 miliar.
Kombinasi ini menjadi paket serangan balasan tunggal yang siap diluncurkan apabila pembicaraan dengan AS gagal.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa Eropa tidak lagi bermain defensif. Dalam beberapa tahun terakhir, tekanan tarif dari AS baik di bawah pemerintahan Trump maupun pasca-Biden telah menumpuk. Sekarang, Eropa tampaknya siap membalas pukulan.
Filipina & Indonesia: Kecil, Tapi Bermakna
Trump juga mengumumkan kesepakatan dengan Filipina, yang akan menghadapi tarif 19% atas ekspor ke AS, sementara barang AS akan dibebaskan dari bea masuk ke Filipina.
Perjanjian ini memperkuat strategi Trump untuk memanfaatkan kekuatan ekonomi AS sebagai alat tekanan terhadap negara-negara mitra dagang kecil.
Sementara itu, kesepakatan dengan Indonesia jauh lebih rumit. Selain tarif 19%, ada tambahan bea 40% untuk barang “transhipped”, atau produk yang dikirim ke AS melalui negara ketiga strategi umum yang digunakan untuk menghindari tarif.
Namun, AS menjanjikan “99% produk asal AS tidak akan dikenai pajak” sebagai bagian dari kesepakatan ini. Ini menjadi insentif bagi eksportir AS sekaligus tekanan terhadap struktur tarif negara berkembang.
Strategi Agresif: Trump Tak Lagi Tunggu Negosiasi Multilateral
Trump juga mengungkap rencana lebih besar: mengirimkan surat kepada lebih dari 150 negara mitra dagang AS, yang akan memuat tarif blanket berdasarkan kategori produk. Lebih dari 20 negara sudah menerima surat semacam itu.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan bahwa banyak kesepakatan baru akan terbentuk dalam “beberapa hari ke depan”. Namun sumber internal Gedung Putih mengindikasikan bahwa negara-negara besar seperti India, Kanada, dan UE menunjukkan resistensi tinggi terhadap model negosiasi bilateral Trump yang take-it-or-leave-it.
Trump juga mengancam akan mengenakan tarif 25–35% terhadap negara-negara besar yang tidak segera menyepakati aturan main barunya.
Apa Dampaknya bagi Pasar Global?
Pasar keuangan masih bereaksi hati-hati. Sementara sebagian investor melihat peluang dari suntikan investasi Jepang, banyak yang khawatir bahwa eskalasi perang tarif dengan Uni Eropa akan memicu ketidakstabilan perdagangan global dan menyeret ekonomi dunia ke dalam spiral proteksionisme baru.
Sektor terdampak langsung adalah otomotif, penerbangan, dan agrikultur AS, yang selama ini menjadi target utama retaliasi tarif. Jika UE benar-benar meluncurkan tarif 30% pada produk seperti mobil dan pesawat, maka raksasa seperti Boeing dan GM bisa mengalami tekanan margin yang serius.
Dunia Kembali di Bawah Bayang-Bayang Tarif
Satu hal jelas dari perkembangan terbaru ini: Donald Trump tidak mundur satu inci pun dari strategi tarifnya. Ia melihat tekanan perdagangan sebagai alat diplomasi utama, bukan sekadar kebijakan ekonomi.
Namun di luar janji investasi dan perjanjian bilateral, dunia harus menghadapi risiko lebih besar: terpecahnya arsitektur perdagangan global yang dibangun selama puluhan tahun. Dan pertanyaannya kini, apakah dunia akan tunduk, tawar-menawar, atau melawan?